Mata Air dari Surga
Lebaran tiba, sudah dua tahun tidak menengok salah satu nenekku yang tinggal di punggung Gunung Lawu. Aku sudah berjanji dalam hati bahwa lebaran tahun ini (2006) aku akan ke rumahnya. Pada masa kecilku, rumah nenekku seperti arena petualangan yang tak mungkin kutemui di tempatku biasa tinggal. Berjalan kaki keluar dari kebunnya, di sebelah kiri ada hutan belantara (kata ibuku, dulu pernah tampak anak-anak harimau di sana), di sebelah kanan ada hutan Pinus, ada tanah lapang dan ada mata air (Sumber Koso) yang masih sangat terjaga, di seberang jalan terbentang hijaunya kebun teh milik Pabrik Teh Jamus. Dulu sering sekali pergi ke pabrik dan ke mata air-mata air yang berada di sekitar Pabrik ( Sumber Lanang dan Sumber Wadon), tentunya melewati kebun teh itu. Berarti sebelum tea walk ngetrend, aku sudah sering melakukannya, gratis lagi tidak seperti di Puncak.
Dengan perasaan cemas, aku datangi lagi tempat
favorit masa kecilku, Mata Air Koso (Sumber Koso, istilah penduduk setempat). Takut kalau-kalau tempat itu tak lagi seperti dulu. Takut kalau perubahan waktu membuatnya dikomersilkan dan menjadi tidak alami lagi. Takut bahwa yang kuimpikan tak lagi sama dengan kenyataannya.
Alhamdulillah...semua tampak masih sama. Hanya saja pepohonan di sana tak selebat yang dulu. Lihat batang-batang bambu itu?
Itu adalah pipa-pipa air minum penduduk setempat. Langsung dari pusat mata airnya. Jadi nyebur pun tidak apa-apa.
Nah tuh..langsung deh nyebur dan nungging..Itu memang pose khas untuk berburu udang.
Ha! dapat juga nih!
Lepasin ah, kasian..
Dan lagi, kalau ingin dimasak menjadi Bothok Udang ala Mbahku, aku harus berburu lebih banyak lagi, padahal udang ini sukar dilihat dan dikejar.
Kalau yang ini, pose lain.
Bukan sedang berwudhu, ini sedang minum.
Sueeger banget lho.
Gimana ya menggambarkan rasa..(??)
Rasanya..sejuk (bukan dingin), terus kalau dibandingkan menurutku (kami) tak ada air mineral kemasan yang bisa menandinginya. Paling dekat rasanya dengan merk Aqua (tanpa bermaksud mendiskreditkan merk lain lho). Bedanya, air di sini rasanya lebih manis, lebih segar.Di sudut yang lain, yang agak jauh dari pusat mata air, airnya lebih dalam.
Tuh lihat..dipakai berenang keponakan dan anak-anak tetangga. Dulu aku suka begitu juga. Sekarang sih udah malu hehehe.
Oya, sebelum listrik masuk desa, air dari mata air ini juga dipakai untuk menggerakkan kincir air pembangkit tenaga listrik. Tidak besar energi yang dihasilkan, namun cukup memadai untuk menerangi rumah.
See..air minum, listrik, sayuran, buah-buahan, semua gratis tis sudah disediakan oleh alam.
Tapi, terakhir ke sana kincir air itu tak ada lagi.Nah kalau ini salah satu pohon besar yang tumbuh di sekitar mata air (beserta penunggunya..)
Aku berharap, tempat ini akan selamanya seperti ini. Agar anak-anakku kelak bisa merasakan petualangan yang sama seperti yang kualami pada masa kecilku..